MENGAPA METODE LIFO TIDAK BOLEH DITERAPKAN ? BY EVAYULIAR
MENGAPA
METODE LIFO TIDAK BOLEH DITERAPKAN ?
Disusun untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Teori Akuntansi
Dosen Pengampu: Nurhasan Hamidi,
SE, M. Sc, Ak, CA
Disusun Oleh
EVA YULIA RUSTANTI
K7414021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan salahsatu negara dengan perusahaan jasa, dagang dan perusahaan manufaktur yang
tersebar banyak meski masih bertaraf menengah. Dalam era saat ini perusahaan
yang berdiri lebih cenderung berkembang di Indonesia adalah perusahaan dalam
bidang perusahaan dagang. Perusahaan dagang kegiatan utamanya adalah membeli barang
jadi dan kemudian menjualnya kembali. Sesuai dengan prinsip penandingan
(Matching principle), laba bersih suatu perusahaan dagang dihitung dengan cara
mengurangkan biaya untuk memperoleh pendapatan dari hasil penjualan pada
periode bersangkutan. Bila berbicara mengenai HPP, ada 3 macam harga pokok
yaitu harga pokok persediaan, harga pokok produksi dan harga pokok penjualan.
Ketiganya adalah komponen yang yang saling terkait namun bila kita mendengar
perkataan HPP, maka kita harus konsen mana yang dimaksudkan.
Permasalahan
itu timbul karena perbedaan kebutuhan masing-masing tingkat manajemen. Manajer
bagian pembelian (Purchase Manager) lebih fokus pada harga pokok persediaan,
manajer produksi (production manager) atau manajer operasional (Operation Manager) lebih
focus pada harga pokok produksi. Manajemen tingkat puncak tentunya akan
lebih cenderung focus pada harga pokok penjualan. Harga pokok barang yang telah
laku dijual biasa disebut dengan Harga Pokok Penjulan. Dalam Harga Pokok
Penjulan kita dapat melihat informssi-informasi tentang persediaan yang kita
miliki sebelumnya, pembelian bersih dan persediaan yang tersedia untuk dijual.
Perusahaan yang telah berdiri tentunya ingin berkembang dan terus menjaga kelangsungan
hidupnya, untuk itu pihak manajemen perusahaan perlu membuat kebijakan yang
mengacu pada terciptanya efisiensi dan efektivitas kerja. Kebijakan tersebut
dapat berupa penetapan harga pokok penjualan dengan membandingkan dengan harga
pembelian barang. Hal ini tentunya tidak terlepas dari tujuan didirikannya
perusahaan yaitu agar modal yang ditanamkan dalam perusahaan dapat terus
berkembang atau dengan kata lain mendapatkan laba semaksimal mungkin.
Pada
Hakikatnya setiap unit usaha baik kecil menengah maupun besar menginginkan
untuk selalu mengalami peningkatan keuangan perusahaan setiap tahunnya. Tujuan
tersebut dapat terlaksana dengan beberapa cara seperti: menarik investor dengan
mengeluarkan saham baru, kredit bank, pengelolaan keuangan, manipulasi
sumberdaya dan strategi manajemen yang handal. Salah satu yang berpengaruh
terhadap efisiensi keuangan perusahaan adalah perihal pencatatan penilaian
persediaan khususnya pada perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan dan
manufaktur. Dengan pemanfaatan penggunaan metode perhitungan tertentu
perusahaan dapat memanipulasi penggunaan asset lancar perusahaan.
Dalam
ilmu akuntansi dikenal beberapa metode yang dapat dterapkan oleh perusahaan
dalam melakukanpen penilaian persediaan barang dagang yaitu, antara lain:
Metode First In First Out (FIFO), Last
In Last Out (LIFO), dan AVERAGE. Di dalam praktiknya didunia pendidikan, masih
banyak sekolah yang memperkenalkan dan pendidik mengatakan bahwa terdapat
aturan-aturan mengenai pengukuran, pengakuan, dan metode-metode penilaian dari
item-item yang ada pada laporan keuangan. Item-item itu antara lain penilaian
persediaan (LIFO, FIFO, rata-rata dan identifikasi khusus), Akan tetapi dalam
PSAK 14 revisi menyebutkan bahwa “Biaya persediaan, kecuali yang disebut dalam
paragraf 21, harus dihitung dengan menggunakan rumus (1) biaya masuk pertama
keluar pertama (MPKP) atau first in first out (FIFO) atau (2) ratarata
tertimbang. Entitas harus menggunakan rumus biaya yang sama terhadap semua
persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang sama. Untuk persediaan yang
memiliki sifat dan kegunaan yang berbeda, rumusan biaya yang berbeda
diperkenankan”.
Dari beberapa pernyataan tersebut,
penulis ingin membahas lebih lanjut alasan metode LIFO tidak diperbolehkan,
terutama oleh pemerintah. Maka dari itu akan dibahas lebih lanjut di
pembahasan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Persediaan
Menurut
Syakur (2009;125) pengertian persediaan sebagai berikut : “Persediaan meliputi
segala macam barang yang menjadi objek pokok aktivitas perusahaan yang tersedia
untuk di olah dalam proses produksi atau di jual”. Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2014),persediaan
diartikan sebagai berikut Persediaan adalah aset :
1.
Tersedia untuk di jual dalam kegiatan
usaha biasa
2.
Dalam proses produksi untuk penjualan
tersebut; atau
3.
Dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk
di gunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
Menurut
Kieso, Weygant dan Warfield (2007;402) mengemukakan bahwa pengertian persediaan
adalah : “Inventory are asset items held
for sale in the ordinary course of business or goods that will be used or
consumed in the production of goods to be sold.” Atau “Persediaan adalah
pos-pos aktiva yang dimiliki oleh perusahaan untuk di jual dalam operasi bisnis
normal, atau barang yang akan di gunakan atau di konsumsi dalam membuat barang
yang akan dijual”.
Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2014) menyatakan
bahwa penilaian persediaan adalah : “Biaya persediaan harus dihitung dengan
menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar (MPKP) atau rata-rata tertimbang
(Weughted average cost method). Entitas harus menggunakan rumus biaya yang sama terhadap semua persediaan yang memiliki
sifat dan kegunaan yang sama. Untuk persediaan yang dimiliki sifat dan kegunaan
yang berbeda, rumusan biaya yang berbeda diperkenankan.
B. Penilaian
Persediaan
Dalam
melakukan penyusuna laporan keuangan perusahaan harus memperhitungkan terlebih
dahulu persediaan barang dagang guna mengetahui COGS yang diperkanankan dan
laba yang diperoleh pada periode tertentu. Dari laba tersebut kemudian diolah
dan dimasukan dalam laporan keuangan perusahaan yaitu pada “Laporan Laba /
Rugi”. Delam melakukan perhitungan COGS barang dagang dikenal tiga metode
penilaian, yaitu:
1. Metode
Penilaian Biaya Rata-Rata Tertimbang (Average Cost Method)
Menurut Kieso, Weygant dan Warfield (2007;417)
pengertian metode rata-rata yaitu : “Average cost method to calculate the price
of items contained in the inventory on
the basic of the average cost of the same goods are available for a period.”
Maksudnya adalah : “Metode biaya rata-rata menghitung harga pos-pos yang
terdapat dalam persediaan atas dasar biaya rata-rata barang yang sama yang
tersedia selama satu periode.”
Pemakaian metode rata-rata biasanya dapat dibenarkan
dari sisi praktis, bukan karena alasan konseptual. Metode ini mudah diterapkan,
objektif dan tidak dapat dimanfaatkan
untuk memanipulasi laba seperti halnya beberapa metode penentuan harga
persediaan lainnya. Selain itu, metode pendukung metode biaya rata-rata
berpendapat bahwa secara umum perusahaan tidak mungkin mengukur arus fisik
persediaan secara khusus, dan karenanya lebih baik menghitung biaya persediaan
atas dasar harga rata-rata.
Metode
penilaian rata-rata dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a.
Metode rata-rata sederhana (simple average method)
Harga beli dari setiap
kali melakukan pembelian dibagi dengan jumlah pembelian yang dilakukan pada
akhir periode.
b.
Metode rata-rata tertimbang (weighted average method)
Harga beli dari setiap
kali pembelian dikalikan dengan unit yang dibeli dibagi dengan jumlah unit
pembelian, dilakukan pada akhir periode.
c.
Metode rata-rata bergerak (moving average
method)
Harga
beli dirata-ratakan setiap melakukan pembelian.
2. Metode
Penilaian MPKP/FIFO (First In First Out)
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2014) merumuskan
FIFO sebagai berikut, “formula MPKP / FIFO mengasumsikan barang dalam
persediaan yang pertama dibeli akan dijual atau digunakan terlebih dahulu
sehingga yang tertinggal dalam persediaan akhir adalah yang dibeli atau
diproduksi kemudian”.
Sedangkan menurut Syafi’I Syakur Ahmad (2009;136)
pengertian metode penilaian FIFO adalah : “Metode FIFO mengasumsikan bahwa
barang dagangan yang pertama dibeli adalah barang dagangan yang pertama dijual
(the first merchandise purchased is the first merchasndise sold), karena harga
pokok penjualan dinilai berdasarkan harga pokok persediaan pertama masuk maka
harga pokok persediaan yang tersisa terdiri dari harga pokok persediaan yang
terakhir kali masuk.”
Semua kasus FIFO, persediaan dan harga pokok penjualan
akan sama pada akhir bulan terlepas dari apakah yang dipakai adalah sistem
persediaan perpetual atau periodik. Hal
ini disebabkan karena yang akan menjadi bagian dari harga pokok penjualan
adalah barang-barang yang akan dibeli terlebih dahulu,dan karenanya dikeluarkan
lebih dulu terlepas dari apakah harga pokok penjualan dihitung seiring barang
dijual sepanjang periode akuntansi (sistem perpetual) atau sebagai residu pada
akhir periode akuntansi (sistem periodik). Selain dianjurkan oleh pemerintah ,
metode FIFO banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan karena :
a. Perhitungan
dan pelaksanaannya sedrhana
b. Nilai
persediaan akhir pada neraca sesuai dengan harga yang berlaku sekarang
c. Dapat
menghindari kerusakan dan keusangan persediaan
3. Metode
LIFO (last in First Out)
Dalam periode inflasi metode LIFO akan menghasilkan
kemungkinan laba bersih terendah. Alasannya karena harga pokok barang yang
diperoleh terakhir akan mendekati nilai ganti barang yang dijual. Keuntungan
lain adalah penghematan pajak karena laba yang dihasilkan adalah yang paling
rendah sehingga akan menghasilkan pajak penghasilan yang lebih rendah. Bila
dibandingkan dengan metode FIFO ataupun metode rata-rata dalam periode deflasi,
pengaruh yang terjadi adalah kebalikannya.
C. Bagaimana
Kebijakan Pemerintah ?
Dalam
PSAK revisi terbaru menyebutkan perhitungan penilaian persediaan adalah dengan
menggunakan metode Rata-rata dan FIFO, dengan demikian pemerintah hanya memperbolehkan
suatu perusahaan yang memiliki persediaan barang dagang dalam proses kerjanya
menggunakan dua alternative perhitungan penilaian sediaan yaitu Average dan
FIFO/MPKP. Keputusan ini dibuat sejak reformat PSAK tahun 2008 yang mendasarkan
pada keputusan IFRS sebagai kiblat peraturan akuntansi perusahaan yang dibuat
oleh para ahli dari berbagai Negara.
International
Financial Reporting Standards (IFRS) dijadikan sebagai referensi utama
pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia karena, IFRS merupakan
standar yang sangat kokoh . Penyusunannya didukung oleh para ahli dan dewan
konsultatif internasional dari seluruh penjuru dunia. Mereka menyediakan waktu
cukup dan didukung dengan masukan
literatur dari ratusan orang dari berbagai displin ilmu dan dari berbagai macam
jurisdiksi di seluruh dunia. Dengan telah dideklarasikannya program konvergensi
terhadap IFRS ini, maka pada tahun 2012 seluruh standar yang dikeluarkan oleh
Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI
akan mengacu kepada IFRS dan diterapkan oleh entitas. Denganadanya IFRS berarti
laporan keuangan akan mengacu hanya pada satu aturan sehingga memudahkan
para pihak-pihak yang
berkepentingan dalam
menggunakannya.
Dalam
UU PPh (UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan), memang metode LIFO
tidak diperbolehkan, sehingga hanya metode FIFO dan average yang diperbolehkan
(Pasal 10 ayat 6). Mungkin alasanya karena metode LIFO menghasilkan laba
terendah sehingga menyebabkan setoran ke kas negara lebih sedikit (dengan
asumsi harga pembelian inventory terus mengalami peningkatan yang bisa
disebabkan karena inflasi, misalnya).
D. Bagaimana
LIFO Menurut IFRS?
IFRS
merupakan standar peraturan akuntansi tingkat internasional yang disusun oleh
para pakar akuntansi dari berbagai Negara. IFRS dijadikan sebagai rujukan
peraturan dan kebijakan per-akuntansian hampir semua Negara di dunia ini.
Didalam peraturan IFRS menyebutkan bahwa metode LIFO telah dianulir dan tidak
diperbolehkan bagi perusahaan untuk melakukan perhitungan penilaian persediaan,
hal ini dikarenakan:
1. Metode
LIFO mengurangi kualitas laporan posisi keuangan. Metode LIFO menyebabkan nilai
inventory yang disajikan dalam laporan posisi keuangan (balance sheet) tidak
merepresentasikan recent cost level of inventory (IAS 2.BC13). Inventory
disajikan pada kos yang tidak merefleksikan kos inventory terkini, atau yang
paling “up-to-date”, tetapi pada kos yang sudah tidak merefleksikan kos
inventory kini , atau sudah tidak up-to-date. Hal ini mengurangi kualitas
posisi keuangan entitas.
2. Signifikansi
perbedaan laba menurut metode FIFO dan average dengan metode LIFO Metode FIFO
dan metode LIFO menghasilkan perbedaan laba yang cukup signifikan (berbeda
jauh) dibandingkan antara FIFO dan Average. Lihat kembali tabel ikhtisar
perbandingan ketiga metode di atas. Selisih antara metode FIFO dan LIFO adalah
RP 7.500,00 sedangkan selisih antara metode FIFO dan average Rp 3.750,00 dan
metode LIFO dan average Rp3.750,00 margin antara kedua metode ini tidak
sesignifikan antara FIFO dan LIFO. Untuk mengurangi kecenderungan perusahaan
memanipulasi laba karena perbedaan antara FIFO dan LIFO yang signifikan,
penyusun standar perlu mengeliminasi antara FIFO atau LIFO. Karena metode LIFO
memiliki kekurangan (menghasilkan nilai persediaan yang kurang relevan), maka
dieliminasilah metode LIFO.
Dengan alasan tersebut IFRS menganulir
penggunaan metode LIFO dalam perhitungan sediaan barang dagang. IFRS sebagai
induk pedoman akuntansi dunia dijadikan sandaran bagi SAK (Standar Akuntansi
Keuangan) Indonesia dalam menerapkan aturan-aturan dalam dunia akuntansi,
dengan demikian secara otomatih SAK juga tidak memperbolehkan suatu entitas
untuk menggunakan metode LIFO sebagai alat perhitungan persediaan. Oleh karena
itu perusahaan wajib mematuhi peraturan tersebut dan menggunakan metode Average
atau FIFO dalam perhitungan persediaan barang dagang.
Akan tetapi dilain pihak standar akuntansi
Amerika atau sering disebut GAAP memandang sebelah mata keputusan para ahli
akuntansi yang tertuang pada peraturan IFRS yaitu pelarangan penggunaan metode
LIFO pada perusahaan. GGAP mengeklain dirinya lebih baik dan modern daripada
standar IFRS sebagai pedoman standar akuntansi Negara-negara Eropa, dan
menganggap mengadopsi IFRS merupakan kemunduran ilmu bagi mereka.
Alasan
US GAAP tetap memperbolehkan penggunaan Metode LIFO :
1. Mereka
beranggapan bahwa US GAAP mereka lebih maju daripada IFRS itu
sendiri,mengadopsi IFRS adalah suatu kemunduran bagi mereka,sebab mereka
menganggap apa yang ada di IFRS itu adalah mereka 50 tahun yang lalu. Ini alasan
pertama U.S GAAP memperbolehkan penggunaan LIFO.
2. Mereka
menganggap Metode LIFO, FIFO, Average memiliki keunggulan masing – masing
sehingga perusahaan bebas memakai yang
mana saja sesuai dengan kebutuhan dan keadaan perusahaan saat itu. Mereka
percaya lahirnya setiap metode ada kelebihannya masing-masing yang saling
melengkapi sebagaimana dicerminkan masih banyaknya perusahaan yang menggunakan
metode ini sesuai dengan data yang penulis tampilkan di atas.
Kebijakan
dalam negeri sendiri yaitu diwakili IAI pada awalnya menjadikan U.S. GAAP
sebagai sandaran dalam menetapkan peraturan, akan tetapi akhirnya menganut IFRS
sebagai pedoman dalam mengatur kebijakan-kebijakan bagi perusahaan. Dengan
demikian pemerintah tidak memperbolehkan penggunaan metode LIFO bagi suatu
perusahaan. Selain karena menganut keputusan IFRS, IAI memiliki alasan lain
yakni:
a.
Penggunaan LIFO lebih banyak dimaksudkan
untuk menghindari (menunda) kewaiban pajak terutama ketika inflasi daripada
untuk kepentingan ekonomi. Secara teori memang kewajiban pajak tersebut hanya
tertunda sementara, namun selama terus terjadi inflasi, maka penundaan pajak
tersebut akan tetap dan mungkin bertambah yang kemudian akan menyebabkan
penundaan pajak menjadi permanent. Hal ini juga bertentangan dengan tujuan
pajak penghasilan yang menghimpun pajak atas kenaikan dari kekayaan per tahun
(tanpa melihat adanya inflasi atau tidak), bukan atas aplikasi prinsip
“matching current revenues to current expenses” dari LIFO method.
b.
LIFO tidak digunakan dalam non-tax
business purpose. Seperti capital budgeting. Karena meghasilkan arus cash flow
yang lebih besar karena income tax yang lebih kecil, net income akan lebih
kecil, asset akan terlalu rendah (tidak mencerminkan current value), dan
working capital serta current ratio akan rendah. Rata-rata perusahaan yang
menggunakan LIFO akan mencantumkan footnote berupa selisih dengan penghitungan
FIFO atas persediaan (LIFO reserve). Ini menjadi kritik dari para analis pajak
yang berpikir bahwa perusahaan pun sebenarnya mengetahui bahwa metode FIFO akan
menghasilkan catatan yang lebih baik untuk kepentingan bisnis daripada LIFO.
lalu kenapa masih maksa menggunakan LIFO?
c.
LIFO sebagai suatu pertahanan atas inflasi
yang terjadi dinilai kurang relevan, karena hanya digunakan untuk sebagian
asset (inventory saja, red.), dan bukan untuk penilaian seluruh asset yang ada
dari perusahaan.
d.
Manajemen inventori fisik dari LIFO dinilai
buruk, karena pada dasarnya perusahaan berusaha untuk mencegah adanya LIFO
liquidation dari LIFO layer yang akan menyebabkan kenaikan kewajiban pajak
secara cepat (tiba-tiba). Ini berarti manajemen pengendalian atas pendapatan
yang didapat dari LIFO method-inventory juga lebih rumit daripada metode yang
lain.
e.
LIFO Reserve yang disajikan dalam laporan
keuangan sering kali dinilai lebih rendah dari yang sebenarnya terjadi. Ada
indikasi kecurangan yang dinilai oleh para analis pajak. Hal ini menyebabkan
LIFO semakin dinilai hanya mengejar keuntungan tax-saving. Oleh karena itu,
para analis pajak tersebut, berpendapat bahwa LIFO sebaiknya dihapuskan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Persediaan meliputi segala macam barang yang
menjadi objek pokok aktivitas perusahaan yang tersedia untuk di olah dalam proses
produksi atau di jual. Dalam melakukan perhitungan
persediaan dikenal tiga metode yaitu: Average, FIFO (First In First Out) dan
LIFO (Last In First Out). Metode Average yaitu penjualan barang dagang dismakan
antara yang masuk pertama maupun yang terakhir dengan menggunakan harga pokok
rata-rata dari harga pokok perolehan. Metode FIFO persediaan barang dagang yang
pertama dibeli akan dijual terlebih dahulu, sehingga nilai persediaan akhir
yang dilaporkan sebesar nilai harga pokok pada pembelian terakhir. Metode
LIFO yaitu barang yang dijual pertama
adalah barang yang masuk gudang terakhir, sehingga nilai persediaan akhir yang
dilaporkan sebesar nilai harga pokok pada pembelian pertama. Dari ketiga metode
penilaian persediaan yaitu metode First In First Out (FIFO), metode Last In
First Out (LIFO) dan metode rata-rata (weighted average cost method), dapat
disimpulkan bahwa metode LIFO menghasilkan harga pokok penjualan yang tinggi,
nilai persediaan akhir yang rendah serta laba kotor terendahi dibandingkan
dengan metode yang lainnya. Analisa deskriptif juga menunjukkan bahwa kebijakan
pencatatan, penilaian dan pelaporan persediaan barang dagang telah diterapkan
secara wajar sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Pada PSAK 14 (1994) dikatakan bahwa persediaan dapat dinilai
dengan metode FIFO, LIFO, dan weighted average. Sedangkan pada ED PSAK 14
(revisi 2014) manyatakan bahwa persediaan dinilai dengan FIFO dan average
method saja.
Lalu, pada akhirnya, LIFO tetap boleh digunakan untuk
penghitungan persediaan perusahaan. Penggunaan LIFO ini diizinkan untuk
keperluan analisa keuangan sebagai perbandingan dari kemampuan (kredibilitas)
yang benar-benar sesuai dengan kondisi keuangan atau perekonomian yang terjadi
pada saat tertentu antara suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya dalam satu
industry, tetapi tidak diperkenankan dalam perhitungan pajak perusahaan..
DAFTAR PUSTAKA
A.
Dunia, Firdaus, 2005, Pengantar Akuntansi
2, Edisi revisi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
E.
Kieso, Donald, Jerry J, Weygandt and Teery D. Warfield, 2007, Intermediate Accounting, Edisi 12 by
Erlangga
Ikatan
Akuntansi Indonesia, 2014, Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan, Jakarta : Salemba Empat
Interntional
Accounting Standard Board. 2012. IFRS
2012 Red Book. IFRS Foundation
Syakur,A.S..
2009. Intermediate Accounting dalam Prespektif lebih luas. Jakarta :
AV Publisher
Komentar
Posting Komentar